Senin, 14 Januari 2019

Menjadi Muslimah Negarawan


Disari dari buku Menjadi Muslimah Negarawan


A.    Sebuah Cita-cita

Cita-cita hasruslah tinggi, luhur dan mulia. Begitu alaminya manusia bercita-cita. Ingin menjadi dokter atau insinyur atau menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama. Kalimat ini sering kita dengar, meski akhirnya nyaris terdengar klise. Seperti apa bergunanya? Bagaimana mencapainya?
Dalam bercita-cita, banyak dari kita yang harus melalui perjuangan materiiil, pencarian identitas sekaligus pergolakan baton karena mengjadapi benturan nilai dan kejamnya realitas kehidupan modern. Yang akhirnya harus menyerah dengan tuntutan keadaan dan menyisakan sedikit ruang citanya untuk agama.
Cita-cita selalu terkait dengan dua hal yang mendasar dalam hidup, yaitu identitas diri dan makna kesuksesan. Yang semua bermuara di tujuan hidup. Bagaimana kita mematrikan jati diri kita dan bagai mana kita mendefenisikan kesuksesan. Dua hal ini yang menentukan kita mencapai cita-cita di masa depan.
Menurut Ibn Al Qayyim al Jauziyyah, nilai manusia ditentukan oleh apa yang ia cari. Oleh karena itu, apa yang kita cari mencerminkan siapa kita dan dimana kedudukan kita. Apa yang kita cari apakah besar, kecil, agung, remeh, atau hina itu pula yang mencerminkan diri kita. Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang-orang kerdil akan mencari hal-hal yang kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan mencari yang agung dan mulia, begitupula sebaliknya.
Seorang muslimah yang sadar, pasti merasakan bahwa kehidupan modern hari ini adalha bentukan dari peradaban barat yang memuja sekularisme sebagai asas dan kapitalisme sebagai penggeraknya yang menjadikan kesenagan dan materi sebagai standar kesuksesan. Yang berakibat fatal kepada seluruh muslim dan muslimah. Yaitu mengerdilkan cita-cita hanya sebatas mendapat pekerjaan sekaligus mengerdilkan banyak harapan orang tua akan masa depan anak-anak mereka. Dalam kapitalisme, profil perempuan sukses adalah mereka yang mapan dalam karir, finansial dan keluarga. Nyatanya, hal itu hanyalah ilusi kesuksesan pribadi yang bisa diperoleh jika kita fokus pada diri dan keluarga sendiri dan mengabaikan penderitaan orang lain.
B.     Cita-cita umat terbaik
Umar ibn Al Khattab berkata, “Jangan lah engkau sekali-kali berobsesi rendah. Sesungguhnya saya belum pernah melihat orang yang paling kerdil dari pada orang yang berobsesi rendah.”
Dimasa keemasan Islam telah kita lihat bagaimana generasi yang memiliki cita-cita besar Rasulullah meruntuhkan imperium terbesar dan menaklukkan dua negara adi kuasa (Romawi dan Persia). Dizaman mereka juga penaklukan Maroko, Spanyol, India dan lain-lain telah terjadi. Dan Allah telah benar-benar memerintahkan kita untuk bercita-cita tinggi, dalam Qs. Al Furqan; 24. Juga dalam hadist Rasulullah,
“Jika engkau meminta surga, mintalah surga firdaus karena firdaus adalah surga yang paling tinggi.” (Mutafaqqun Alain)
Diriwayatkan dari Abi Zinad dari ayahnya, ia berkara:” Suatu hari berkumpul di hijir (Ismail) beberapa pemuda saleh, yaitu Mus’ab ibn Zubair ,Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair, Abdul Malik ibn Marwan dan Abdullan ibn Umar ibn Khattab. Salah seoarang dari mereka berkata kepada sahabatnya, “Marilah kita bercita-cita”. Maka Abdullah ibn Zubair berkata: “ Aku ingin menguasai kedua tanah haram (Mekah dan Madinah) dan menjadi seorang khalifah”. Abdul Malik bin Marwan berkata, “Adapun saya, bercita-cita menguasai segenap bumi dan menjadi khalifah setelah Muawiyah”. Urwah ibn Zubair menyusul, “Saya memiliki cita-cita yang berbeda, saya ingin diberi zuhud didunia dan memperoleh surga di akhirat. Saya juga ingin menjadi ulama panutan”. Dan yang terakhir, Abdullah ibn Umar ibn Khattab berkata,” Saya hanya mengharap ampunan dari Allah”. Perawi berkata “Kemudian hari demi haripun berlalu, sampai semua mereka memperoleh apa yang mereka cita-ciitakan”. Dan mudah-mudahan Abdullah ibn Umar sudah mendapatkan ampunan Allah.
            Cita-cita kepemimpinan yang dicontohkan oleh generasi sahabat dan para pemimpin Kulafahur Rasyidun adalah cita-cita besar yang melampaui profesi apapun. Cita-cita besar yang terpancar dari pemikiran politik Islam. Islam meletakkan landasan nilai yang sangat berbeda secara diametral dengan Kapitaliesme karena Islam menjadikan keimanan kepada al Khaliq dan Aqidah Islam sebagai landasan peradabannya. Ketakwaan sebagai konsep kehidupannya dan ridha Allah sebagai makna kebahagiaan.
            Profesi dalam Islam adalah bukan segala-galanya. Menjadi profesional tidak berarti membuat umat Islam melupakan identitas hakikinya sebagai hamba Allah, juga tidak boleh melalaikan peran utamanya sebagai seoarang da’i/dai’yah yang melakukan perbaikan dan amar maruf nahi mungkar ditengah masyarakat. Ibadan sebagai misi penciptaan manusia itulah fokus dari tatanan masyarakat Islam.
            Menjadi dokter, insinyur, guru ahli komputer dan sebagainya adalah atribut sekunder dalam masyarakat Islam. Semua profesi itu bukanlah termasuk uluwwul himmah (cita-cita yang tinggi), karena cita-cita yang tertinggi seorang munslim kembali pada identitas hakikinya yakni hamba Allah yang mempunyai kawajiban menegakkan kalimat Allah dimuka bumi ini serta memiliki tanggung jawab yang besar terhadap umat Muhammad saw.
            Aqidah Islam menjadi driving intergrative motive atau motivasi integral untuk menjadi profesional, bukan semata karena materi. Ditambah lagi di dalam Islam seorang muslim mempunyai kewajiban-kewajiban yang diembannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sejaland engan kaudah ushul “al ashlu fi al af’al at-taqayyud bihukmi asy-syar’i yang berarti bahwa hukum asal suati perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’: wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Maka apapun aktifitas seorang muslim harus terikat dan tuduk pada hukum syariat, termasuk profesinya.
            Disisi lain, sistem Islam yang garis politik ekonominya memiliki tujuan mendasar agar negara hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, dilengkapi dengan kokohnya akidah Islam dalam diri setiap muslim yang membangun keyakinan akan rezeki akan menciptakan generasi yang kebal virus pragmatisme hingga tidak ada penghalang antara cita-cita besar yakni cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad saw.
            Walhasil, peradaban Islam telah terbukti mewariskan cita-cita besar umat Islam, laki-laki dan perempuan, muslim dan muslimah dengan memberi mereka peran sebagai umat terbaik dan pemimpin dunia pembagun peradaban yang menyebarkan Islam sebagai rahmat semesta alam.

C.     Mengambil Peran Besar
Kondisi ymat hari ini yang ditimpa kemnunduran dan terpecah belah akibat hancurnya kepemimpinan politik umat Islam seharusnya membuat kita berpikir. Runtuhnya institusi Khilafah Usmani tahun 1924 telah membuat kemunduran luar biasa, bahkan secara mental banyak putra-putri umat untuk bercita-cita besar saja tidak berani. Memang, generasi ini terpisah jarak belasan abad dengan generasi awal Islam. Bahkan tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah saw, namun kita tidak boleh lupa bahwa Rasul telah mewariskan kita sebuah risalah kenabian yang sempurna, tidak hanya mengatur hubungabn personal dan keluarga, tapi juga telah mewariskan peradaban lengkap dengan tatanan sistemnya. Rasul bahkan telah mewariskan bagaimana kehidupan bernegara itu sejatinya diatur untuk memimpin peradaban  untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat ke seluruh alam.
Maka, kualifikasi tertinggi agar mampu mengemban peran besar dan cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad saw adalah kualifikasi seorang negarawan, sebagaimana paradigma politik Islam untuk melayani urusan umat. Dalam buku Pemikiran Politik Islam karya Abdul Qadim Zallum digambarkan dengan jelas bagaimana sosok negarawan itu adalah pemimpin politik tertinggi, namun negarawan tidak selalu menjadi pejabar atau tidak semua pejabat adalah negarawan. Negarawan adalah pemimpin kultural yang siap untuk menjabar, meskipun tidak harus menjabat,. Negarawan adalah pemimpin yang kreatif dan inovatif. Berani bertindak solutif saat yang lain tidak berani.
Maka, dengan bahasa lain sosok negarawan adalah ia yang memiliki kapasitas agency sebagai pemimpin perubahan dengan ciri-ciri:
1.      Memiliki mentalitas pemimpin (leadership) atau kepribadian kepemimpinan (syakhsiah qiyadah)
2.      Mampu mengatur urusan kenegaraan, artinya mampu berpikir skala sistem (tidak parsial atau sektoral)
3.      Mampu menyelesaikan permasalahan atau mu’alajah musykilah
4.      Mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum alias harmonisasi kehidupan pribadi dan dakwah.

D.    Menjadi Muslimah Negarawan
Allah telah menganugerahkan akal pikiran yang sama antara muslim dan muslimah. Hal tersebut akan mampu menjadikan perempuan memiliki kapasitas berpikir yang tinggi, bahkan yang tertinggi, yakni Pemikiran Politik. Meski Syariah Islam membatasi peran perempuan dalam politik pemerintahan, bukan berarti kapasitas pemikiran dan kenegarawanannya dihambat dan dibatasi. Syariah Islam justru mmeberi peran besar bagi kaum muslimah yakni sebagai penjaga peradaban Islam dalam kapasitasnya sebagai ilmuan, penggerak opini dakwah dan ibu generasi.
Dalam kapasitas pemikiran, Islam tidak pernah membatasi muslimah menuntut ilmi dan membangun pemikiran yang tinggi, bahkan pemikiran politik internasional. Baik laki-laki maupun perempuan diberi hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmi, mendalami tsaqofah Islam, memperkaya wawasan dan mengamalkan ilmunya untuk umat dan kemuliaan Islam.
Namun, mengenai aktivitas politik kaum Muslimah, Syariah Islam telah memberi perincian, terdapat sebagian aktivitas yang sama dengan laki-laki, namun sebagian berbeda dan dibatasi. Allah berfirman dalam QS. At Taubah; 71 yang artinya:
Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemarufan dan mencegah kemungkaran.
Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki muslim dan perempuan mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktifitas politik, yaitu amal ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagiand ari masuarakat, laki-laki dan perepuan sama-sama memiliki kewajiban berdakwah melakukan amar makruf nahi mungkar yang termasuk dalam aktivitas politik.
Namun, keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik bukanlah agar mereka dapat menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara mereka didengar oleh umat. Tetapi, harus dipahami bahwa esensi koprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah swt. Sebagai suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap masyarakat yang terdiri atas perempuan dan laki-laki; bukan masyarakat laki-laki atau masyarakat perempuan secara terpisah.
Aktivitas politik perempuan dalam Islam yang utama dan sama dengan kaum laki-laki adalah hal dna kewajiban baiat kepada khalifah, hal memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat, kewajiban menasehari dan mengoreksi penguasa, dan kewajiban menjadi anggota partai politik. Namunn, diatas semua itu, Islam menetapkan dua peran penting perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah. Dalam Muqadimah Dustur Bab “Nidzam Ijtima’i” dinyatakan bahwa hukum asal perempuan dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.
Perlu dipahami, disini bahwa peran perempuan sebagai istri dan ibu sesungguhnya juga merupakan peran politis. Peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummurarabatul bait sebagai pencetak generasi, sehingga terlahir generasi yang berkualitas prima, sebagai pejuang-pejuang Islam yang ikhlas. Hal ini tidak lain karena Islam sanat dmenjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan, Allah swt, Sang Pembuat hukum dan Pencipta manusia sangat memahami apa yang terbaik bagi manusia.Baik laki-laki maupun perempuan.
Disamping itu Islam telah memberikan pejelasan tentang aktivitas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan/ pemerintahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa atau kepala negara. Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), muawwin tafwidh, (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah), Dan amil (kepala daerah). Rasulullah saw telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah: “tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaan) kepada perempuan”. [HR. Bukhari]
Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki bukan berarti menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Justru karena melihat ada peran strategis yang diberikan kepada kaum Muslimah, yang tidak akan pernah bisa dilakukan kaum laki-laki, yakni peran sebagai ibu dan pendidik genreasi, yang sangat menentukan masa depan Islam dan kualitas peradaban.
Gambaran kiprah politik muslimah diatas semakin menunjukkan peran yang besar, strategis dan berkelanjutan dari kaum merempuan dalam masyarakat Islam. Peran politiknya tidak dibatasi oleh sekedar jabatan atau kekuasaan, tapi menentukan masa depan Islam dan kualitas peradabannya. Matriks peran politik muslimah yang dilandasi paradigma dan praktek politik islam justr mendorong kaum muslimah agar memiliki kapasitas kenegerawanan tanpa harus terlibat mutlak dalam politik praktis atau pemerintahan, sebaliknya justru memberi energi besar pada peran sejati muslimah yang mampu membuatnya bermain lintas dimensi dan lintas skala, baik secara kultural di masyarakat ataupun struktural di pemerintahan, baik di keluarga dengan anak-anaknya maupun di tenagh publik sebagai pemikir dan pegiat dakwah dan opini Islam. Karena itu jelaslah bahwa peran strategis yang lintas dimensi dan lintas skala ini, membutuhkan kapasitas pemikiran politik dan kenegarawanan kaum muslimah.
Perempuan memiliki tiga tantangan demi mencapai cita-cita besar sebagai Muslimah Negarawan, yaitu; Intelektual Peadaban, Penggerak Opini dan Ibu Generasi Penakluk. Untuk menjawab tiga tantangan ini tentu membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondisif di sini maksudnya adalah lingkungan dimana pemikiran politik Islam itu dihidupkan, dikaji dan terus digunakan dalam membedah persoalan umat. Lingkungan politik yang menjadi inkubator bagi para negarawan, pelaku perubahan hakiki yang akan mengembalikan kehidupan Islam dan kepemimpinan politik bagi umat Islam.
Langkah pertama untuk mewujudkan lingkungan politik Islam adalah dengan cara membetnuk sekelompok orang yang senantiasa menghikuti berita, aktivitas dan peristiwa politik di dunia. Para politisi ini mengikuti berbagai berita dan aktivitas politik di dunia dengan maksud agar dapat memahaminya, kemudian berupaya mengurus kepentingan umat sesuai dengan pemahaman tersebut dan berlandaskan sudut pandang Islam.
Langkah berikutnya, harus ada upaya mengikuti dan menganalisis berbagai berita dan peristiwa politik, sehingga dapat membangun lingkungna politik. Karena kalau tidak, maka orang-orang yang pernah terlibat dalam lingkungan politik kufur dan mampu bertahan hidup, akan lebih mampu memimpin, menciptakan dan memasuki berbagai lingkungan politik. Bila demikian, maka bibit-bibit kehancuran negara sudah tercipta sejak awal negara itu berdiri. Selanjutnya, ia harus memberikan pendapatnya tentang berita dan aktivitas politik kepada umat dan pendapat tersebut harus berasal atau berlandaskan sudut pandang tertentu tentang kehidupan.
Lingkungan politik adalah kondisi dimana terdapat suati kelompok manusia yang selalu menyediakan waktu dan tenaga utnuk bisa menganalisis dan bertukar pandangan tentang pemikiran politik diantara mereka. Lingkungan politik yang paling mudah dibentuk adalah rumah/ keluarga. Sejarah mencatat begitu banyak negarawan muslim yang lahir dari lingkungan politik keluarga. Syaikh Taqiuddin an Nabhani adalah politisi ulung yang terbentuk dari lingkungan politik  keluarga, melalui pengaruh kakeknya Yusuf an Nabhani.
Selain itu, negarawan muslim juga harus memiliki mentalitas yang dibagun dengan kaidah berpikir dan kaidah beramal tertentu.Kaidah berpikir (qaidah fikriyyah) digambarkan ibarat terbang di alam (suasana) yang lebih tinggi dari masyarakat dan mampu melihat realitas masa depan yang harus dicapai dengan menjadikan realitas sebagai objek pikiran untuk diubah sesuai dengan ideologi. Tidak mejadikan realitas sebagai sumber pemikiran dengan cara mencocokkan ideologi dengan kenyataan. Dengan kata lain, negarawan muslim akan melihat apa yang ia yakini, bukan meyakini apa yang ia lihat.
Muslimah negarawan akan selalu berusaha mengubah, membentuk serta menundukkan keadaan sesuai dengan kehendak mereka agar keadaan itu sesuai dengan ideologi yang mereka yakini, bukan sebaliknya, yakni menyesuaikan ideologi dengan keadaa. Muslimah negarawan juga memiliki kebiasaan mencintai ilmu dan tsaqofah Islam, selalu fokus memikirkan umat dan mengikuti berita seputar yang menimpa umat, memiliki tradisi diskusi dan terbiasa saling melempar analisis serta memiliki tradisi menulis.
Karena itu, seorang muslimah negarawan harus bersiap dan melakukan persiapan lebih untuk mewujudkan cita-citanya. Dan tentu, untuk membangun dan menegakkan sebuah peradaban yang mulia, ada begitu banyak persiapan yang harus kita lakukan sejak hari ini. Termasuk membangun kapasitas seorang negarawan bagi para muslimah pengemban dakwah Islam dan pelaku penggerak perubahan. 

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih diantara kalian bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaiamnaa dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoiNYa untuk mereka. Dan dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa [TQs. An Nur;55]

Tidak ada komentar: