“Kualitas
sarjana jelas lebih baik dibandingkan dengan kami anak kampung yang putus
sekolah”. kata Ntan setengah berteriak.
Aku
tetap berjalan tanpa memperdulikan perkataan Ntan. Setengah berlari ku
tinggalkan pelabuhan Sri Datuk Laksmana yang mempertemukan aku dengan Ntan. Ku remas
surat yang tadinya hendak aku berikan pada Ntan. Langkahku semakin berat untuk
meninggalkan sosok yang dulu sangat mendukungku. Ntan, mengapa kau memilih
jalan ini?
***
“Apelah awak ni, aku bukan tak nak belajar di
kota, masalahnye adik aku masih kecik-kecik. Tak mungkinlah aku tinggalkan ”. Ucapku
tegas pada Ntan.
Tampaknya
Ntan tak dapat memaksaku untuk melanjutkan sekolah. Sekali ini ia benar-benar
putus asa. Aku sangat memahami keinginannya yang kuat melanjutkan kuliah di
kota. Dan lebih paham diriku betapa keinginannya agar kami sukses bersama-sama.
Tapi, sungguh aku tak bisa. Lebih baik aku bekarja mencari nafkah untuk
adik-adik ku yang masih sekolah. Ini adalah keputusan akhir yang sudah tiga
bulan belakangan aku pikirkan.
Ntan tidak
meminum air yang telah ku buatkan untuknya. Tanpa pamit, ia beranjak
meninggalkan rumahku. Dari balik jendela, ku lihat ia menyalami mak dan kemudian pergi meninggalkan
halaman rumah. Maaf Ntan, harusnya kau
paham keadaanku.
***
“Rezeki itu dari Allah, dek. Kita tidak tahu
apa yang akan menimpa kita nanti, hal itu berada diluar jangkauan manusia. Kita
sadari, kan bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah, terbatas dan membutuhkan
sesuatu yang tidak terbatas, tidak lemah dan tidak membutuhkan yang lain”
Masih
terkenang dikalbuku, Itensif pertamaku di kampus. Sungguh, rahasia Allah siapa
yang tahu. Dulu sangat tergambar dibenakku, bagaimana aku harus mencari rezeki
untuk keluarga. Entah kerja di ruko koko,
atau bahkan harus menoreh getah
seperti mak. Namun, ternyata Allah
telah berkata lain. Allah menyuruh aku untuk menimba ilmu di Kota Bertuah ini
agar nantinya aku bisa mengubah keadaan keluarga dan masyarakatku.
Sekali-kali
aku berkirim pesan singkat untuk Ntan. Bahwa
di kota Pekanbaru ini, aku benar-benar mendapatkan pencerahan. Sangat
berbeda dengan di kampung. Sungguh aku
berterimakasih padamu, Ntan. Kau telah memaksaku kuliah. Karena kau juga aku
menerima penawaran Pak Kades untuk kuliah dikota.
Hari-hari
yang ku lewati membuat aku semakin mengerti apa yang sedang dihadapi. Sungguh,
dulu aku tidak menyadari fakta yang ku hadapi. Mengapa pendidikan begitu sulit?
Tak hanya untuk aku dan Ntan, tapi juga bagi orang-orang yang sulit dalam hal
keuangan macam kita.
***
“Ntan
seperti ini bukan karena Ntan sedang sial. Bukan karena Allah membenci Ntan.
Tapi, memang cobaan Allah. Bagaimana Ntan bisa menghadapinya. Apakah dengan
cobaan itu Ntan jadi lupa pada Allah, ataukah dengan cobaan ini Ntan semakin
dekat padaNya”.
“Ti, aku
tahu itu. Tapi, aku benar-benar sibuk.
Kalau aku tidak profesional dalam pekerjaan ini, aku akan dipecat. Kau tahukan,
aku butuh uang. Tak mungkin aku menunggu uang yang turun dari langit. Tak akan
mungkin, Ti!. Aku juga bukanlah orang berpendidikan seperti dirimu. Aku tak
punya gelar dan ijazah untuk bisa melamar kerja di kantor-kantor.” bantah Ntan
keras.
“Tapi,
Ntan pilihan hidupmu telah salah. Kau terlalu jauh melangkah. Kau tahu ini akan
menjerumuskanmu pada perbuatan dosa. Ini bukan main-main, Ntan”.
“Aku bukan
pelacur, Ti!” ucap Ntan marah. “Aku hanya melayani orang yang mau makan di
sini.”
“Tapi,
Ntan...”
“Aku masih
sholat, Ti”. Ucap Ntan meyakinkanku
“Seharusnya
jika kau masih sholat, kau tidak akan buka auratmu. Kau tidak akan berinteraksi
dengan pria-pria kesepian itu.
Sungguh, jika kau terus kerja disini, kau bisa merusak nama keluargamu. Ingat,
Ntan kita orang melayu, pantang melanggar aturan agama!”.
“Aku bukan
anak kecil yang bisa kau atur-atur, Ti!”. Ucap Ntan berlalu.
Sudah sekian kalinya kami bertengkar, pertengkaran yang kesekian
kalinya setelah ia memaksaku untuk kuliah. Air mataku bercucuran tak terbendung
lagi. Menyesali keputusan Ntan. Bekal pendidikan di pesantren di kampung dulu
sama sekali tidak membekas di benak Ntan.
***
Ntan,
pendidikan bukanlah untuk mencari uang.
Bukan untuk duduk di kursi goyang. Tidak! Memang, pikiran kita sebelumnya telah
ter-mahfumakan sekolah untuk mencari uang. Kuliah untuk mengejar gelar, meraih
pangkat dan pekerjaan. Karena itu telah ditanamkan dalam pikiran kita. Pendidikan
hanya sekedar sebagai persinggahan wajib sebelum kerja. Yang akhirnya
berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Kualitas pendidikan yang
dihasilkan jauh dari harapan. Standar mereka hanyalah pada materi. Tidak peduli
mereka peroleh dengan cara benar atau pun tidak.
Kau tahu tidak, Ntan, banyak yang seharusnya
kau perbuat dikampung kita. Kau harus sadar, betapa besar sumber daya alam di
kampung kita? Jangan kau berpikir seperti para sarjana hasil universitas matre
yang pontang panting mencari lowongan kerja. Yang berusaha menjadi karyawan di
PT ini dan itu. Dan jangan pula kau berpikir seperti para sarjana gampangan,
yang akhirnya melakukan pekerja haram demi uang...
Ku baca
sekali lagi surat yang hendak ku berikan pada Ntan. Besok aku akan berjumpa
dengannya di pelabuhan Bengkalis. Sungguh aku berharap ia bisa berubah.
***
“Aku ada
berita gembira!” Ucap Ntan padaku saat menyambutku di Pelabuhan Sri Datuk
Leksmana. Dia tampak berbeda setelah dua tahun tak berjumpa. Berat badannya
jelas tambah naik. Wajahnya disapu dengan make up sederhana. Pakaiannya
menunjukkan penghidupannya telah baik.
“Ape?”
kataku penuh tanya.
“Aku akan nikah
dengan Datuk Ramli. Akhirnya dia mau menikahi aku”. Ucap Ntan bahagia.
“Kau
memaksa untuk menikah dengannya?” tanyaku terkejut.
“Alah, biaselah aku dah hamil. Cemane die nak
mengelak”. Ujar Ntan biasa bahkan diiringi dengan tawa kecilnya. Perkataan Ntan
membuat aku tersentak. Seperti jatuh dari ketinggian dan terhempas di bebatuan
keras. Mengapa Ntan? Air mataku mengalir.
“Mengapa
kau menangis? Kau tahukan, aku bukanlah orang berpendidikan, aku butuh uang.
Wajar jika aku harus menggaet pria kaya....”
Perkataan
Ntan tak lagi kudengar. Sungguh, kehidupan kampung kini tak jauh berbeda
kerasnya dengan kehidupan kota. Pengaruh kebebasan bahkan telah merasuk hingga
kampung halamanku. Semua demi materi dan materi.
.........
Diperlombakan
pada tanggal 15 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar