Senin, 11 Maret 2013

Keputusan


“Kualitas sarjana jelas lebih baik dibandingkan dengan kami anak kampung yang putus sekolah”. kata Ntan setengah berteriak.
            Aku tetap berjalan tanpa memperdulikan perkataan Ntan. Setengah berlari ku tinggalkan pelabuhan Sri Datuk Laksmana yang mempertemukan aku dengan Ntan. Ku remas surat yang tadinya hendak aku berikan pada Ntan. Langkahku semakin berat untuk meninggalkan sosok yang dulu sangat mendukungku. Ntan, mengapa kau memilih jalan ini?
            ***
Apelah awak ni, aku bukan tak nak belajar di kota, masalahnye adik aku masih kecik-kecik. Tak mungkinlah aku tinggalkan ”. Ucapku tegas pada Ntan.
Tampaknya Ntan tak dapat memaksaku untuk melanjutkan sekolah. Sekali ini ia benar-benar putus asa. Aku sangat memahami keinginannya yang kuat melanjutkan kuliah di kota. Dan lebih paham diriku betapa keinginannya agar kami sukses bersama-sama. Tapi, sungguh aku tak bisa. Lebih baik aku bekarja mencari nafkah untuk adik-adik ku yang masih sekolah. Ini adalah keputusan akhir yang sudah tiga bulan belakangan aku pikirkan.
Ntan tidak meminum air yang telah ku buatkan untuknya. Tanpa pamit, ia beranjak meninggalkan rumahku. Dari balik jendela, ku lihat ia menyalami mak dan kemudian pergi meninggalkan halaman rumah. Maaf Ntan, harusnya kau paham keadaanku.
***
Rezeki itu dari Allah, dek. Kita tidak tahu apa yang akan menimpa kita nanti, hal itu berada diluar jangkauan manusia. Kita sadari, kan bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah, terbatas dan membutuhkan sesuatu yang tidak terbatas, tidak lemah dan tidak membutuhkan yang lain”
Masih terkenang dikalbuku, Itensif pertamaku di kampus. Sungguh, rahasia Allah siapa yang tahu. Dulu sangat tergambar dibenakku, bagaimana aku harus mencari rezeki untuk keluarga. Entah kerja di ruko koko, atau bahkan harus menoreh getah seperti mak. Namun, ternyata Allah telah berkata lain. Allah menyuruh aku untuk menimba ilmu di Kota Bertuah ini agar nantinya aku bisa mengubah keadaan keluarga dan masyarakatku.
Sekali-kali aku berkirim pesan singkat untuk Ntan.  Bahwa di kota Pekanbaru ini, aku benar-benar mendapatkan pencerahan. Sangat berbeda  dengan di kampung. Sungguh aku berterimakasih padamu, Ntan. Kau telah memaksaku kuliah. Karena kau juga aku menerima penawaran Pak Kades untuk kuliah dikota.
Hari-hari yang ku lewati membuat aku semakin mengerti apa yang sedang dihadapi. Sungguh, dulu aku tidak menyadari fakta yang ku hadapi. Mengapa pendidikan begitu sulit? Tak hanya untuk aku dan Ntan, tapi juga bagi orang-orang yang sulit dalam hal keuangan macam kita.
***
“Ntan seperti ini bukan karena Ntan sedang sial. Bukan karena Allah membenci Ntan. Tapi, memang cobaan Allah. Bagaimana Ntan bisa menghadapinya. Apakah dengan cobaan itu Ntan jadi lupa pada Allah, ataukah dengan cobaan ini Ntan semakin dekat padaNya”.
“Ti, aku tahu itu.  Tapi, aku benar-benar sibuk. Kalau aku tidak profesional dalam pekerjaan ini, aku akan dipecat. Kau tahukan, aku butuh uang. Tak mungkin aku menunggu uang yang turun dari langit. Tak akan mungkin, Ti!. Aku juga bukanlah orang berpendidikan seperti dirimu. Aku tak punya gelar dan ijazah untuk bisa melamar kerja di kantor-kantor.” bantah Ntan keras.
“Tapi, Ntan pilihan hidupmu telah salah. Kau terlalu jauh melangkah. Kau tahu ini akan menjerumuskanmu pada perbuatan dosa. Ini bukan main-main, Ntan”.
“Aku bukan pelacur, Ti!” ucap Ntan marah. “Aku hanya melayani orang yang mau makan di sini.”
“Tapi, Ntan...”
“Aku masih sholat, Ti”. Ucap Ntan meyakinkanku
“Seharusnya jika kau masih sholat, kau tidak akan buka auratmu. Kau tidak akan berinteraksi dengan pria-pria kesepian itu. Sungguh, jika kau terus kerja disini, kau bisa merusak nama keluargamu. Ingat, Ntan kita orang melayu, pantang melanggar aturan agama!”.
“Aku bukan anak kecil yang bisa kau atur-atur, Ti!”. Ucap Ntan berlalu.
 Sudah sekian kalinya kami bertengkar, pertengkaran yang kesekian kalinya setelah ia memaksaku untuk kuliah. Air mataku bercucuran tak terbendung lagi. Menyesali keputusan Ntan. Bekal pendidikan di pesantren di kampung dulu sama sekali tidak membekas di benak Ntan.
***
Ntan, pendidikan bukanlah untuk mencari uang. Bukan untuk duduk di kursi goyang. Tidak! Memang, pikiran kita sebelumnya telah ter-mahfumakan sekolah untuk mencari uang. Kuliah untuk mengejar gelar, meraih pangkat dan pekerjaan. Karena itu telah ditanamkan dalam pikiran kita. Pendidikan hanya sekedar sebagai persinggahan wajib sebelum kerja. Yang akhirnya berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Kualitas pendidikan yang dihasilkan jauh dari harapan. Standar mereka hanyalah pada materi. Tidak peduli mereka peroleh dengan cara benar atau pun tidak.
Kau tahu tidak, Ntan, banyak yang seharusnya kau perbuat dikampung kita. Kau harus sadar, betapa besar sumber daya alam di kampung kita? Jangan kau berpikir seperti para sarjana hasil universitas matre yang pontang panting mencari lowongan kerja. Yang berusaha menjadi karyawan di PT ini dan itu. Dan jangan pula kau berpikir seperti para sarjana gampangan, yang akhirnya melakukan pekerja haram demi uang...
Ku baca sekali lagi surat yang hendak ku berikan pada Ntan. Besok aku akan berjumpa dengannya di pelabuhan Bengkalis. Sungguh aku berharap ia bisa berubah.
***
“Aku ada berita gembira!” Ucap Ntan padaku saat menyambutku di Pelabuhan Sri Datuk Leksmana. Dia tampak berbeda setelah dua tahun tak berjumpa. Berat badannya jelas tambah naik. Wajahnya disapu dengan make up sederhana. Pakaiannya menunjukkan penghidupannya telah baik.
“Ape?” kataku penuh tanya.
“Aku akan nikah dengan Datuk Ramli. Akhirnya dia mau menikahi aku”. Ucap Ntan bahagia.
“Kau memaksa untuk menikah dengannya?” tanyaku terkejut.
 “Alah, biaselah aku dah hamil. Cemane die nak mengelak”. Ujar Ntan biasa bahkan diiringi dengan tawa kecilnya. Perkataan Ntan membuat aku tersentak. Seperti jatuh dari ketinggian dan terhempas di bebatuan keras. Mengapa Ntan? Air mataku mengalir.
“Mengapa kau menangis? Kau tahukan, aku bukanlah orang berpendidikan, aku butuh uang. Wajar jika aku harus menggaet pria kaya....”
Perkataan Ntan tak lagi kudengar. Sungguh, kehidupan kampung kini tak jauh berbeda kerasnya dengan kehidupan kota. Pengaruh kebebasan bahkan telah merasuk hingga kampung halamanku. Semua demi materi dan materi.
.........
Diperlombakan pada tanggal 15 Maret 2012


Tidak ada komentar: